Ilyas Karim (bercelana pendek mebelakangi kamera dan Shodanco Singgih (sebelah kiri) mengibarkan bendera "MERAH PUTIH" seusai pembacaan proklamasi. |
JAKARTA, KOMPAS.com -
Langkah kakinya kini tak lagi setegap dulu. Untuk menaiki anak tangga,
kakinya pun bergetar. Padahal, setengah abad yang lalu, dua kaki itu
masih kuat menghentak bahkan menendang lawan.
Selain kaki, penurunan fungsi bagian
tubuh juga tampak di mata. Di matanya, ada dua buah plester yang
menempel di atas kelopak mata. Plester itu bertugas memaksa kelopak
matanya untuk selalu terbuka.
Kerut wajahnya pun mengindikasikan kakek
tua ini sudah mengecap asam garam kehidupan. Dialah Ilyas Karim (84),
seorang pejuang bangsa yang kini jasanya seolah dilupakan pemerintah.
Nama Ilyas Karim memang tidak terlalu
populer di kalangan generasi penerus. Namun, sejarah mencatat ada
seorang pemuda berusia 18 tahun mengenakan celana pendek dengan mantap
mengibarkan sang saka Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 untuk
pertama kalinya.
Dia-lah saksi hidup naskah proklamasi
kemerdekaan RI dibacakan oleh Presiden Soekarno yang didampingi Wakil
Presiden Mohammad Hatta di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur,
Jakarta Pusat. Ilyas masih ingat ketika dipercaya sebagai pengibar
bendera Merah Putih, hatinya pun bergejolak gembira.
“Bagaimana tidak senang? Saat itu
detik-detik kemerdekaan negara kita. Dan saya di situ mengibarkan
bendera Indonesia pertama kali di hadapan pak Presiden, Bung Hatta, Bu
Fatmawati,” tutur Ilyas, Rabu (17/8/2011), saat dijumpai di kediamannya
yang ada di pinggir rel di Jalan Rawajati Barat nomor 7, Kalibata,
Jakarta Selatan.
Ia mengaku tidak tahu mengapa dirinya
yang ditunjuk sebagai pengibar bendera. Ketika itu, Ilyas hanya
mengikuti seniornya, Chairulsaleh yang memberitahukan pemuda di Asrama
Pemuda Islam (API) untuk bersiap berkumpul di rumah Bung Karno keesokan
harinya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Ilyas
bergegas menuju rumah Bung Karno. Setibanya di sana, tangan Ilyas
tiba-tiba ditarik oleh Sudanco Latief Hendraningrat dan disuruh berdiam
diri di samping tiang bendera.
“Saat itulah saya diminta jadi pengibar
bendera bersama Sudanco Singgih. Hanya karena saya datang duluan
dibandingkan teman-teman, jadinya sayalah yang ditunjuk. Coba kalau
telat, ceritanya pasti berbeda,” tutur Ilyas sembari bercanda.
Menurut Ilyas, ada satu momen di mana
dirinya tidak akan lupa adalah ketika Fatmawati menghampirinya sambil
membawa sebuah kotak. Kotak itu berisi bendera Merah Putih yang sudah
dijahit sehari sebelumnya.
“Bagus sekali kain itu, masih sangat
baru. Ibu Fatmawati berpesan sama saya, ini kotak di dalamnya ada
bendera hati-hati jangan sobek. Saya jaga itu sampai pelan-pelan saya
kerek naik ke puncak,” kata pria kelahiran Padang Pariaman, 31 Desember
1927 ini.
Upacara bersejarah itu, diakui Ilyas,
menumbuhkan semangat nasionalisme untuk lepas dari penjajahan Jepang
yang sangat besar. Setiap orang mulai dari tua hingga muda tanpa
membedakan suku, larut dalam semangat kesatuan itu.
Begitu upacara usai, setiap orang
bersorak gembira. Namun, tidak ada perayaan berlebihan dalam peristiwa
bersejarah itu. Setiap orang pulang ke rumah masing-masing lantaran
masih dalam bulan puasa. “Sama seperti sekarang ini (bulan puasa). Tapi
rasanya berbeda. Dulu semangatnya ada,” ujar Ilyas lirih.
Ilyas merasa prihatin dengan kondisi
bangsa yang carut marut. Menurutnya, pemerintah tak lagi peduli akan
rakyatnya. Padahal, kemerdekaan dulu dicapai untuk seluruh rakyat.
“Yang sekarang ada rakyat miskin. Jaman
dulu mana ada pengemis, sekarang kemerdekaan itu hanya untuk para
pejabat. Padahal dulu kami berjuang untuk rakyat,” imbuhnya.
Masa Tua Hidup Sederhana
Selain menjadi salah satu tokoh
bersejarah dalam pengibaran bendera Merah Putih, Ilyas mengabdikan
hidupnya sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia bertugas keliling
daerah sampai menjadi pasukan perdamaian di Kongo, Lebanon, dan Vietnam.
Selama puluhan tahun menjadi tentara dan berpangkat terakhir Letnan
Kolonel, Ilyas pun tak bergelimang harta.
Ilyas hidup di pinggir rel kereta di
Jalan Rawajati Barat No. 7, Kalibata, Jakarta Selatan bersama sang
istri. Ia membangun sebuah rumah sederhana yang lantai duanya terbuat
dari seng.
Meski hidup dalam keterbatasan, Ilyas tak
mau terpuruk meratapi nasib. Ia pun masih aktif menjabat sebagai Ketua
Umum Yayasan Pejuang Siliwangi yang sering mengadakan bakti sosial bagi
anak yatim. “Hidup itu untuk mengabdi bukan untuk diam-diam saja,” kata
Ilyas.
Sikap sederhana Ilyas ini pula yang
ditanamkan ke-14 anaknya. Elvita (40), anak kedua Ilyas, menuturkan
sosok ayahnya terbilang tegas dan sederhana. “Bapak nggak pernah mau
minta sama kita-kita ini. Kalau dikasih yang berlebihan dia juga pati
nolak, sama orang lain juga begitu. Dia maunya biasa-biasa saja,” ujar
Elvita.
Dikatakan Ilyas, di sisa umurnya ini, ia
hanya ingin mencari amal. Ia mengaku sudah sejak lama tidak silau akan
harta kekayaan. “Saya hidup palingan hanya beberapa tahun lagi, saya
cari pahala. Sudah nggak mau cari harta kita beramal saja,” tandas kakek
dengan 28 cucu ini.