Get Free Music at www.divine-music.info
free apps at www.remo-xp.com

Free application at remo-xp.com

Selasa, 21 Februari 2012

Pengibar Bendera Merah Putih Pertama

Ilyas Karim (bercelana pendek mebelakangi kamera dan Shodanco Singgih (sebelah kiri) mengibarkan bendera "MERAH PUTIH" seusai pembacaan proklamasi.
JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah kakinya kini tak lagi setegap dulu. Untuk menaiki anak tangga, kakinya pun bergetar. Padahal, setengah abad yang lalu, dua kaki itu masih kuat menghentak bahkan menendang lawan.
Selain kaki, penurunan fungsi bagian tubuh juga tampak di mata. Di matanya, ada dua buah plester yang menempel di atas kelopak mata. Plester itu bertugas memaksa kelopak matanya untuk selalu terbuka.
Kerut wajahnya pun mengindikasikan kakek tua ini sudah mengecap asam garam kehidupan. Dialah Ilyas Karim (84), seorang pejuang bangsa yang kini jasanya seolah dilupakan pemerintah.
Nama Ilyas Karim memang tidak terlalu populer di kalangan generasi penerus. Namun, sejarah mencatat ada seorang pemuda berusia 18 tahun mengenakan celana pendek dengan mantap mengibarkan sang saka Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 untuk pertama kalinya.
Dia-lah saksi hidup naskah proklamasi kemerdekaan RI dibacakan oleh Presiden Soekarno yang didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Ilyas masih ingat ketika dipercaya sebagai pengibar bendera Merah Putih, hatinya pun bergejolak gembira.
“Bagaimana tidak senang? Saat itu detik-detik kemerdekaan negara kita. Dan saya di situ mengibarkan bendera Indonesia pertama kali di hadapan pak Presiden, Bung Hatta, Bu Fatmawati,” tutur Ilyas, Rabu (17/8/2011), saat dijumpai di kediamannya yang ada di pinggir rel di Jalan Rawajati Barat nomor 7, Kalibata, Jakarta Selatan.
Ia mengaku tidak tahu mengapa dirinya yang ditunjuk sebagai pengibar bendera. Ketika itu, Ilyas hanya mengikuti seniornya, Chairulsaleh yang memberitahukan pemuda di Asrama Pemuda Islam (API) untuk bersiap berkumpul di rumah Bung Karno keesokan harinya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Ilyas bergegas menuju rumah Bung Karno. Setibanya di sana, tangan Ilyas tiba-tiba ditarik oleh Sudanco Latief Hendraningrat dan disuruh berdiam diri di samping tiang bendera.
“Saat itulah saya diminta jadi pengibar bendera bersama Sudanco Singgih. Hanya karena saya datang duluan dibandingkan teman-teman, jadinya sayalah yang ditunjuk. Coba kalau telat, ceritanya pasti berbeda,” tutur Ilyas sembari bercanda.
Menurut Ilyas, ada satu momen di mana dirinya tidak akan lupa adalah ketika Fatmawati menghampirinya sambil membawa sebuah kotak. Kotak itu berisi bendera Merah Putih yang sudah dijahit sehari sebelumnya.
“Bagus sekali kain itu, masih sangat baru. Ibu Fatmawati berpesan sama saya, ini kotak di dalamnya ada bendera hati-hati jangan sobek. Saya jaga itu sampai pelan-pelan saya kerek naik ke puncak,” kata pria kelahiran Padang Pariaman, 31 Desember 1927 ini.
Upacara bersejarah itu, diakui Ilyas, menumbuhkan semangat nasionalisme untuk lepas dari penjajahan Jepang yang sangat besar. Setiap orang mulai dari tua hingga muda tanpa membedakan suku, larut dalam semangat kesatuan itu.
Begitu upacara usai, setiap orang bersorak gembira. Namun, tidak ada perayaan berlebihan dalam peristiwa bersejarah itu. Setiap orang pulang ke rumah masing-masing lantaran masih dalam bulan puasa. “Sama seperti sekarang ini (bulan puasa). Tapi rasanya berbeda. Dulu semangatnya ada,” ujar Ilyas lirih.
Ilyas merasa prihatin dengan kondisi bangsa yang carut marut. Menurutnya, pemerintah tak lagi peduli akan rakyatnya. Padahal, kemerdekaan dulu dicapai untuk seluruh rakyat.
“Yang sekarang ada rakyat miskin. Jaman dulu mana ada pengemis, sekarang kemerdekaan itu hanya untuk para pejabat. Padahal dulu kami berjuang untuk rakyat,” imbuhnya.
Masa Tua Hidup Sederhana
Selain menjadi salah satu tokoh bersejarah dalam pengibaran bendera Merah Putih, Ilyas mengabdikan hidupnya sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia bertugas keliling daerah sampai menjadi pasukan perdamaian di Kongo, Lebanon, dan Vietnam. Selama puluhan tahun menjadi tentara dan berpangkat terakhir Letnan Kolonel, Ilyas pun tak bergelimang harta.
Ilyas hidup di pinggir rel kereta di Jalan Rawajati Barat No. 7, Kalibata, Jakarta Selatan bersama sang istri. Ia membangun sebuah rumah sederhana yang lantai duanya terbuat dari seng.
Meski hidup dalam keterbatasan, Ilyas tak mau terpuruk meratapi nasib. Ia pun masih aktif menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi yang sering mengadakan bakti sosial bagi anak yatim. “Hidup itu untuk mengabdi bukan untuk diam-diam saja,” kata Ilyas.
Sikap sederhana Ilyas ini pula yang ditanamkan ke-14 anaknya. Elvita (40), anak kedua Ilyas, menuturkan sosok ayahnya terbilang tegas dan sederhana. “Bapak nggak pernah mau minta sama kita-kita ini. Kalau dikasih yang berlebihan dia juga pati nolak, sama orang lain juga begitu. Dia maunya biasa-biasa saja,” ujar Elvita.
Dikatakan Ilyas, di sisa umurnya ini, ia hanya ingin mencari amal. Ia mengaku sudah sejak lama tidak silau akan harta kekayaan. “Saya hidup palingan hanya beberapa tahun lagi, saya cari pahala. Sudah nggak mau cari harta kita beramal saja,” tandas kakek dengan 28 cucu ini.

Sabtu, 18 Februari 2012

Foto Kegiatan Paskibra Sma 01 Maros






PASKIBRAKA

PASKIBRAKA

Pengertian Paskibraka PASKIBRAKA ( Pasukan Pengibar Bendera Pusaka ) merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memupuk semangat kebangsaan, cinta tanah air dan bela negara, kepeloporan dan kepemimpinan, berdisiplin dan berbudi pekerti luhur dalam rangka pembentukan character building generasi muda Indonesia. Peserta kegiatan ini adalah pria dan wanita yang telah terpilih untuk mewakili propinsinya dalam acara pengibaran dan penurunan Bendera Pusaka (duplikat) pada Upacara Kenegaraan 17 Agustus dalam rangka Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah Paskibraka Sejarah Paskibraka, dimulai 17 Agustus 1950, saat pertama kali peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan dilaksanakan, setelah Presiden Sukarno hijrah dari Yogyakarta. Namun sebenarnya, dalam peringatan skala kecil pada 1946 silam, kegiatan ini sudah dilaksanakan di Gedung Agung, Yogyakart. Tata cara penaikan dan penurunan Bendera Pusaka, pertama kali disusun oleh ajudan Presiden Sukarno, Husen Mutahar. Kemudian pada 1967, Husen yang waktu itu menjabat Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di masa pemerintahan Soeharto, juga menerima tugas yang sama. Formasi Paskibraka, diambil dari tanggal, bulan dan tahun dibacakannya Proklamasi kemerdekaan_RI

Persyaratan Menjadi Anggota Paskibraka. Untuk menjadi calon anggota Paskibraka, diperlukan beberapa persyaratan. Syaratnya, memiliki tubuh sehat, tinggi badan minimal 170 sentimeter untuk putra, dan 165 sentimeter untuk putri. Mereka juga harus memiliki nilai akademis yang baik, serta aktif berorganisasi.
Seleksi penerimaannya dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat kota/kabupaten, provinsi hingga nasional. Dan, yang bertugas pada upacara tahun ini, terdiri dari 64 orang, perwakilan 32 provinsi. Mereka sudah menjalani latihan fisik dan mental selama 27 hari. Pelatihnya sebagian besar adalah anggota TNI/Polri. ( IAN/Tim Liputan6 SCTV ).

Asal-Usul Bendera Merah Putih

Bendera nasional Indonesia adalah sebuah bendera berdesain sederhana dengan dua warna yang dibagi menjadi dua bagian secara mendatar (horizontal). Warnanya diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone. Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.
Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda.

Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama kali digunakan oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di bawah kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka dan mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional

Sejarah Pengibaran Bendera Merah Putih

Bendera Pusaka dikibarkan pada tahun 1945 di Jakarta. Namun pada tahun 1946 – 1948 Bendera Pusaka dikibarkan di Yogyakarta. Pada waktu itu dikibarkan dengan formasi 5 orang (3 putri dan 2 putra), formasi ini berdasarkan Pancasila.

Bendera Pusaka dikibarkan sejak tahun 1945 – 1966 dengan formasi tersebut, sedangkan sejak tahun 1967 mulai menggunakan formasi pasukan 17-8-45 dan sejak saat itu pula Bendera Pusaka diganti dengan Bendera Duplikat.

Bendera Duplikat dibuat di Balai Penelitian Tekstil Bandung yang dibantu oleh PT Ratna di Ciawi, Bogor. Upacara penyerahan Bendera Duplikat dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 1969 di Istana Negara Jakarta yang bertepatan dengan reproduksi Naskah Proklamasi Kemerdekaan. Bendera Duplikat mulai dikibarkan bersama dengan utusan-utusan dari 26 propinsi sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang.

Bendera Duplikat dibuat dari benang wol dan terbagi menjadi 6 carik kain (masing-masing 3 carik merah dan putih). Sedangkan Bendera Pusaka terbuat dai kain sutera asli.

Nama pasukan pengibar bendera pada tahun 1967 – 1972 dinamakan Pasukan Pengerek Bendera, sedangkan mulai tahun 1973 sampai dengan sekarang dinamakan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka).

Regu-regu pengibar sejak thun 1950 – 1966 diatur oleh rumah tangga kepresidenan, setelah itu diganti oleh Direktorat Pembinaan Generasi Muda.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 menetapkan peraturan tentang Bendera Pusaka, tanggal 26 Juni 1958 dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 65 tahun 1958 dan penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 1.633, diundangkan pada tanggal 10 Juli 1958. Dalam peraturan tersebut, hal-hal penting yang dimuat antara lain :

1. Bendera Pusaka ialah bendera kebangsaan yang digunakan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 (Pasal 4 ayat 1);
2. Bendera Pusaka hanya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus (Pasal 4 ayat 20;
3. Pada waktu penaikan atau penurunan bendera kebangsaan, maka semua yang hadir tegak, berdiam diri sambil menghadap muka kepada bendera sampai upaca selesai. Mereka yang berpakaian seragam dari suatu organisasi memberi hormat menurut cara yang telah ditentukan oleh organisasinya itu. Sedangkan mereka yang tidak berpakaian seragam memberi hormat dengan meluruskan tangan ke bawah dan melekatkan telapak tangan dengan jari-jari rapat pada paha dan semua jenis penutup kepala harus dibuka kecuali kopiah, ikat kepala, sorban, dan tudungan atau topi wanita yang dipakai menurut agama atau adar kebiasaan (Pasal 20);
4. Pada waktu dikibarkan atau dibawa, bendera kebangsaan tidak boleh menyentuh tanah, air, atau benda-benda lain. Pada bendera kebangsaan tidak boleh ditaruh lencana, huruf, kalimat, angka, gambar, atau tanda-tanda lain (Pasal 21).

Sejarah Penyelamatan Bendera Merah Putih

Setelah Agresi Militer Belanda II, Soekarno mengutus Mutahar untuk menyelamatkan Bendera Pusaka. Agar tidak terlihat sebagai bendera, maka Mutahar memutuskan untuk memisahkan jahitan bendera tersebut menjadi dua bagian, secarik kain merah dan secarik kain putih, kemudian dimasukkan ke dalam kopornya.

Di tengah perjalanan, Mutahar tertangkap oleh Belanda, namun akhirnya dalam perjalanan itu beliau dapat meloloskan diri dan mengungsi di kediaman Sarjono (seorang anggota delegasi). Selanjutnya Mutahar mendapat kabar dari Soekarno agar bendera tersebut diserahkan saja kepada Sarjono. Karena pada saat itu yang boleh menemui Soekarno hanya anggota delegasi saja. Maka atas jasanya pada tahun 1961, Mutahar diberikan gelar Bintang Mahaputera dalam usahanya menyelamatkan Bendera Pusaka.
(Sumber : Penyambung Lidah Rakyat, karangan Cindy adam)